Chapter 3 — Rasa Syukur Atas Bantuan
“Terima
kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk
mengajariku.”
Karena
Amane telah memesan dua hari libur kerja untuk merayakan ulang tahun Mahiru, ia
tidak memiliki banyak jadwal kerja bersama Miyamoto. Akibatnya, sesi belajar berakhir lebih lambat dari yang
direncanakan. Saat tiba di kantor, ia menundukkan kepalanya kepada Miyamoto,
yang sudah datang lebih awal dan sudah
menyiapkan segalanya.
Amane
telah belajar banyak dari Mahiru, tetapi untungnya, seniornya Miyamoto juga
meluangkan waktu selama istirahat untuk membantunya belajar. Pendekatan
pengajaran Miyamoto menawarkan perspektif yang berbeda dari Mahiru, dan
disertai dengan tingkat ketegasan yang berbeda. Berkat itu, materi yang
dipelajarinya tertanam kuat di benaknya.
“Hei,
kerja bagus. Ujian itu pasti menyebalkan. Bagaimana hasilnya?”
“Aku
berhasil mendapatkan skor bagus tanpa kendala apa pun.”
“Aku
senang jika aku bisa membantumu.
Sejujurnya, kamu menyerap pengetahuan seperti spons, Fujimiya. Kamu memahami
banyak hal dengan sangat cepat, aku rasa kamu akan baik-baik saja bahkan tanpa adanya bantuanku.”
“Itu sama tidak benar. Itu semua berkatmu
juga, Miyamoto-san.”
Berkat
bantuan dari seniornya dan
Mahiru, Amane mampu mempertahankan nilainya, dan dirinya merasa berhutang budi kepada
mereka. Dalam kasus Miyamoto, ia tidak mendapatkan apa pun dari bantuannya,
tetapi ia tetap pergi untuk membantunya. Kebaikannya begitu luar biasa sehingga
hampir membuat Amane curiga, bertanya-tanya apakah ada motif tersembunyi di
baliknya.
Miyamoto mengatakan, “Jika kamu harus mengulang
ujian, itu akan mengacaukan jadwalku. Ditambah lagi, aku sudah membereskan
kesalahan Rino selama beberapa waktu, jadi mengajarimu juga bukanlah masalah
besar. Rasanya jauh
lebih cepat jika mengerahkan semua upaya sejak awal.”
Meskipun Amane dapat melihat usahanya untuk menyembunyikan rasa malunya, ia tahu dari Souji bahwa
mengungkapkannya hanya akan memperburuk suasana hati Miyamoto. Jadi, Amane
diam-diam menerima kebaikan itu, berharap dapat membalas budi suatu hari nanti.
“Pacarmu
pasti sangat pintar, ya?”
Tampaknya
Miyamoto telah menangkap isyarat halus dalam kata-kata Amane, dan seringai
menggoda tersungging di wajahnya. Sebagai tanggapan, Amane hanya tersenyum
sopan dan berkata, “Oh, tentu
saja begitu,”
begitulah.
“Lihatlah
senyummu. Dia pasti istimewa. Kalian berdua pastilah murid teladan yang
sempurna.”
“Meski dibilang murid teladan… Aku
tidak yakin apakah aku termasuk salah satunya, tapi kurasa nilaiku cenderung
lebih baik. Aku telah mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas sejak kelas satu, yang sangat membantu.”
“Ya.
Aku tidak akan menganggapmu sebagai orang yang suka main-main di sekolah.
Kebalikan dariku.”
“Tapi
sepertinya kau juga bukan orang yang akan main-main, Miyamoto-san.”
Miyamoto
bercanda tentang dirinya sendiri, tetapi bagi Amane, dirinya tidak tampak seperti tipe orang
yang akan membuat masalah serius di sekolah. Tentu, penampilannya kelihatan flamboyan dan
bergaya, memancarkan aura santai dan modern, dan ia menggunakan nada bicara
yang santai, tetapi pada dasarnya, Miyamoto adalah pria yang rendah hati. Ia memiliki sikap yang tenang dan
tampak sebagai seseorang yang serius, dengan kecenderungan untuk memperhatikan
orang lain. Begitulah sosok Miyamoto dari sudut
pandang Amane.
“Yah,
dulu aku lebih seperti orang bodoh dalam hal akademis. Ya, masih begitu. Aku
tidak pernah menjadi anak nakal atau bermasalah dengan guru, tapi aku memang
sering membuat onar.”
“Ah…
begitu ya…”
“Rasanya agak jengkel bagiku saat kamu langsung
menyetujuinya.”
“Maaf,
aku tidak bermaksud mengolok-olokmu. Hanya saja, uh, aku merasa kamu pandai memisahkan berbagai hal.
Jadi, kamu mungkin menikmati dirimu
sendiri tanpa mengacaukan masa depanmu.”
Amane
membayangkan bahwa Miyamoto mungkin telah menemukan
keseimbangan—bersenang-senang sambil menjaga prestasi sekolahnya tetap utuh dan
menjalani kehidupan yang terhormat di kampus. Namun, Amane tidak tahu pasti.
Satu-satunya orang yang tahu seperti apa Miyamoto semasa sekolah SMA hanyalah Miyamoto
sendiri dan, seperti yang dikatakannya, teman lamanya Oohashi, yang dengan
bercanda ia katakan bahwa ia ‘terjebak
bersamanya’.
“Namun,
musim semi tak pernah datang bagi Daichi!”
Oohashi
tiba-tiba muncul dari belakang dan tertawa mengejek, mengeluarkan suara “Keh keh keh” yang tampaknya membuat ekspresi
Miyamoto seketika eneg. Amane
sedikit bergidik melihatnya. Ia
yakin itu hanya imajinasinya, tetapi dia bersumpah mendengar kata-kata, “Menurutmu ini salah siapa? Siapa?” sebagai balasannya.
“Kamu bertingkah seolah-olah musim
semi selalu datang sepanjang tahun. Aku tidak ingin mendengar itu darimu,”
balas Miyamoto.
“Gonggongan
si pecundang, ya?”
“Aku
akan menghajarmu.”
“Ooh,
menakutkan!”
Miyamoto
mendesah dalam-dalam sementara Oohashi, entah tidak menyadari tekanan itu atau
sudah terbiasa, menggigil berlebihan dengan seringai nakal yang sama di
wajahnya. Sementara itu, Amane tetap diam.
Turut
berduka cita, pikirnya, tetapi tidak mungkin ia bisa
mengatakannya dengan lantang. Sebagai gantinya, ia membetulkan celemeknya
dengan tenang, berhati-hati agar tidak membuat suara apa pun dan menghasut mereka lebih jauh.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Aku
sudah memeriksa jadwalnya, dan seperti yang kuduga, kamu tidak akan bekerja sekitar
Natal, kan, Fujimiya?”
Saat
mereka menutup kafe setelah
pelanggan terakhir pergi, Miyamoto tiba-tiba teringat dan memanggil Amane.
Ah, rekan
kerjaku mungkin tidak suka jika aku mengambil cuti selama musim Natal yang
sibuk, terutama karena kami adalah kafe.
Amane
segera meminta maaf, “Maaf soal itu.” Namun, Miyamoto menepisnya dan berkata,
“Tidak, tidak, bukan itu,” sambil tampak sedikit meminta maaf.
“Aku
tidak mengkritikmu. Kamu mempunyai pacar, jadi tentu saja kamu tidak ingin meninggalkannya
sendirian. Aku senang kalian berdua bisa akur. Sebenarnya, aku mendengar
kalau Kayano bekerja selama Natal.”
“Apa? Masa?”
Informasi
yang tak terduga itu membuat Amane terdiam di tempatnya. Ia tidak selalu
bekerja pada shift yang sama dengan Souji, dan mereka tidak pernah berbicara
tentang Natal secara gamblang, ia juga tidak pernah membicarakannya dengan
Ayaka di sekolah. Amane berasumsi bahwa Souji akan menghabiskan liburan
bersamanya, jadi mendengar kabar bahwa ia akan bekerja sungguh mengejutkan.
Meskipun itu mungkin bukan masalah bagi seseorang yang selembut dirinya, Amane
tidak dapat menahan diri untuk bertanya-tanya— apa Ayaka akan baik-baik saja
dengan itu…? Meskipun itu bukan urusannya, ia merasa khawatir. Namun
sebelum ia dapat memikirkannya, kata-kata Miyamoto meredakan kekhawatirannya.
“Karena
hari ini Natal, para staf seharusnya mengenakan kostum Santa pada hari itu.
Kayano bilang pacarnya datang hanya untuk melihatnya mengenakan kostum itu.”
“Oh… Tapi
menurutku pakaian itu tidak dirancang untuk memamerkan otot.”
Meskipun
Amane dapat memahami keinginan untuk melihat pacarnya mengenakan kostum, hal
itu tampaknya tidak sejalan dengan hobi Ayaka. Kostum Santa tidak dirancang
untuk menonjolkan otot, jadi dirinya
bahkan tidak dapat membayangkan apa yang dipikirkan Ayaka. Itu tidak masuk
akal.
“Oh,
pacarnya suka otot? Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya, tapi aku tidak
menyadari dia punya ketertarikan seperti itu.”
“Kamu tidak bisa menilai buku dari
sampulnya.”
“Benar,”
Oohashi setuju. “Lihat saja Daichi—kamu pikir ia seorang playboy, tapi nyatanya ia tidak seberani seperti penampilan luarnya.”
“Hah? Kamu mau ngajak berkelahi?”
“Tenang,
tenang—dia memuji kamu… mungkin.”
Apa
mereka harus terus menambah bahan bakar ke dalam api? Amane tidak bisa menahan
rasa sakit kepala yang akan datang saat ia turun tangan untuk menengahi lagi.
Baik Oohashi maupun Miyamoto adalah tipe orang yang suka melontarkan adu mulut
secara bergantian, dan tidak jarang mereka bertengkar saat tidak terdengar oleh
pelanggan.
Sejujurnya,
Amane merasa masalah sebenarnya biasanya terletak pada Oohashi. Dia selalu menyulut api, sering kali menjadi orang
pertama yang membuat komentar tanpa berpikir. Namun karena begitulah cara
mereka berdua berinetraksi,
Amane tidak bisa berkata banyak lagi tentang hal itu.
Saat ia
mencoba menenangkan situasi dan memadamkan api yang berkobar di antara mereka,
pikirannya melayang ke arah Souji,
yang tidak bersama mereka hari ini. Ia membayangkan Souji mengenakan kostum
Santa, tetapi tidak dapat membayangkan bagian mana dari kostum itu yang akan
membuat Ayaka begitu bahagia, membuatnya menggaruk-garuk kepalanya karena
bingung.
Kurasa setiap
orang punya pilihannya sendiri. Amane tersenyum canggung
pada Miyamoto, yang masih terlihat sedikit tegang.
"Yah,
kurasa kebanyakan gadis hanya ingin melihat pacar
mereka cosplay,” kata
Amane. “Pacarku juga sangat menyukai
cosplay.”
“Tunggu,
Fujimiya, apa pacarmu juga punya semacam fetish?”
“Uh…tidak,
kurasa tidak. Mungkin tidak…kuharap begitu.”
Sejauh
ini, dia tidak melakukan itu…atau setidaknya, Amane berharap begitu.
Meskipun
Mahiru tampaknya sedikit terpengaruh oleh Ayaka, dia belum mengembangkan
kebiasaan aneh yang dapat dengan jelas disebut sebagai fetish. Amane berharap
dia akan tetap seperti itu, tetapi pada saat yang sama, dirinya tidak dapat menyangkal bahwa
akan menyenangkan jika Mahiru menemukan lebih banyak hal yang dia sukai.
“Yah,
kalau aku harus bilang…mungkin dia punya fetish terhadapku?”
Itulah pernyataan yang sedekat mungkin dengan
kebenaran yang bisa ia dapatkan.
Mahiru
mencintai Amane apa adanya, bukan hanya karena bagian tertentu dari dirinya.
Setidaknya, itulah yang diyakini Amane. Meskipun Mahiru menyukai otot-ototnya,
dia telah menjelaskan bahwa dia tidak tertarik pada tubuh orang lain. Tampaknya
karena dia mencintai Amane sendiri, jadi Mahiru
menghargai setiap aspek kecil dari dirinya, tetapi semua itu berasal dari
perasaannya terhadapnya sebagai seorang pribadi.
“Ooh,
lihatlah dirimu, kelihatan bucin banget,
Fujimiya-chan.”
“Kamu
seharusnya mencoba mencintai seseorang dengan jumlah yang sama,” ejek Miyamoto.
“Mau
bilang aku plin-plan? Aku orangnya cepat panas dan cepat tenang, terima kasih
banyak.”
“Seperti
itu lebih baik.”
“Baiklah,
baiklah,” sela Amane. “Setiap orang punya cara
berpikirnya sendiri. Selama kamu mengakhiri semuanya tanpa perasaan sakit hati,
bukannya itu baik-baik saja?”
Oohashi,
yang sering menyebut dirinya sebagai ‘apes
dalam percintaan’, sering
jatuh cinta dan cepat. Namun, dia
menjelaskan bahwa menjalani banyak hubungan secara bersamaan adalah hal yang
menggelikan secara etika dan moral, yang, bagi mereka yang mendengarkan,
setidaknya cukup untuk meredakan perasaan tidak enak di perut mereka. Meski
begitu, tetap saja menyakitkan menyaksikan beban emosional yang dialami
Miyamoto, yang memiliki titik lemah terhadapnya. Dalam hal itu, perasaan sakit yang dirasakannya cukup berbeda.
Namun, ironi dari situasi tersebut ialah
bahwa hanya Miyamoto dan Oohashi
satu-satunya yang tidak menyadari ketegangan yang mereka ciptakan.
“Sulit
untuk memiliki perasaan buruk ketika kebanyakan pria mungkin akan mundur
setelah kamu sedikit bersikap santai dan
mereka menyadari kamu tidak
seperti yang mereka harapkan.”
“Sembarangan saja!
Itu hanya beberapa kali!”
“Jadi,
itu memang terjadi.”
“Lagipula,
aku tidak berusaha menyembunyikan apa pun. Aku selalu menjadi diriku sendiri.”
Dengan
dada bidang yang membusung dan senyum percaya diri yang terbuka, Oohashi adalah
wanita yang cantik. Cerdik, energik, dan mudah bergaul, dia pasti menarik
banyak perhatian.
Namun,
saat melangkah mundur, Amane dapat membayangkan bahwa semakin dalam seseorang
terlibat dengan Oohashi, semakin mereka akan menemukan bahwa dia tidak seperti
yang mereka kira sebelumnya. Jika seseorang memasuki suatu hubungan dan
menganggapnya sebagai orang yang baik, kemungkinan besar citra itu akan
terbalik. Lagi pula, tanpa pengawasan Miyamoto, Oohashi cenderung ceroboh dan
linglung.
“Ya,
kebanyakan orang akan kesulitan untuk berbicara terus terang seperti dirimu.”
“Kamu mengejekku?”
“Sudah-sudah. Maksudnya kamu adalah orang yang jujur
dan tidak menyembunyikan apapun.”
Saat
Amane melirik jadwal shift yang dipasang di belakang meja kasir, merenungkan
betapa pentingnya pilihan kata, dia menyadari bahwa, seperti dirinya, Oohashi
juga tidak dijadwalkan bekerja pada hari Natal.
“Oh,
Oohashi-san, jadi kamu juga tidak bekerja di hari Natal.”
“Ya, karena aku punya pacar.”
“…Benarkah?”
Amane kehilangan kata-kata saat melihat betapa cepatnya Oohashi menjalin
hubungan dengan orang lain.
Secara
naluriah, tatapannya beralih ke Miyamoto. Yang mengejutkannya, Miyamoto tidak
menunjukkan tanda-tanda terguncang—mungkin ia sudah terbiasa dengan ini
sekarang. Sebaliknya, ia menghela napas
dalam-dalam, hampir seolah berkata, ‘Dia mulai lagi’. Amane yakin bahwa tatapan mata
yang jauh itu bukan hanya imajinasinya.
“Setidaknya
dia punya wajah yang cantik,” kata Miyamoto.
“Apa
maksudnya itu? Seperti hanya itu yang bisa
kulakukan?”
“Sejujurnya,
kecerdasanmu tidak terlalu bagus. Begitu pula seleramu terhadap pria. Mereka
semua bodoh dan hanya peduli dengan penampilan luar.”
“Itu
sangat tidak sopan dalam banyak hal!”
“Aku
yakin satu bulu matamu akan putus sebelum Natal.”
“Bukannya itu taruhan yang terlalu rendah?
Dan serius, apa gunanya?”
“Maksudnya,
hal itu sudah sangat jelas akan terjadi sehingga tidak ada gunanya
mempertaruhkan apa pun, dasar bodoh.”
“Jahat
banget! Kalau menurutmu itu
gimana, Fujimiya-chan??”
“Aku
tidak tahu banyak tentang kehidupan cintamu atau gaya hidupmu, Oohashi-san,
jadi… tidak ada komentar.”
Yang
terbaik adalah menghindari terjebak dalam baku tembak, jadi Amane dengan bijak
memberikan alasan yang masuk akal dan dengan bijaksana menarik diri dari
percakapan.
“Taruhan
itu bahkan tidak layak dilakukan pada saat ini.”
“Bukan
berarti ada yang bisa dipertaruhkan karena kita akan bertahan sampai Natal!”
“Ingat
itu, Fujimiya. Dia mungkin akan menangis padamu nanti. Hal yang sama terjadi
tahun lalu.”
“Aku
bukan orang yang sama seperti dulu!”
“Belum
pasti.”
“…Aku
merasa kalian berdua benar-benar akur.”
Entah
ini benar-benar bisa disebut "akrab" atau tidak masih bisa
diperdebatkan, tetapi mereka jelas-jelas seirama dengan cara mereka sendiri.
Amane dengan santai memberikan komentar dan cepat-cepat meloloskan diri, menggunakan dalih mencuci
kain lap untuk diam-diam menjauh dari keduanya, memastikan tidak terjebak dalam
candaan mereka.
“Miyamoto-san,
sebaiknya kamu sedikit melunakkan pendekatanmu. Kalau tidak, Oohashi-san hanya
akan menjauh darimu. Tidak peduli seberapa benarnya kamu, dia akan bersikap
defensif dan keras kepala jika kamu merendahkannya.”
“…Aku
tahu itu.”
Setelah
menyaksikan perilaku Oohashi yang agak tidak masuk akal, Amane menunggu hingga
Oohashi tidak dapat mendengarnya lagi dan diam-diam menyampaikan nasihatnya
kepada Miyamoto. Sebagai tanggapan, Miyamoto mengangguk dengan muram dan bersuara
rendah, seolah-olah ia telah menelan sesuatu yang pahit.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Cuma sekedar memastikan, kamu tidak
tertarik melihatku berdandan seperti Sinterklas, kan?”
“Hah?”
Saat tiba
di rumah setelah makan malam, Amane kebetulan melirik majalah di meja rendah.
Mahiru mungkin menaruhnya di sana, dan sampulnya menampilkan edisi khusus
Natal. Tiba-tiba, hal itu mengingatkannya pada kostum di kantor, yang
membuatnya bertanya demikian.
Karena
Amane sudah meminta waktu istirahat, Amane tidak akan bekerja di hari Natal,
jadi ia tidak punya alasan untuk mengenakan kostum Sinterklas. Namun, mau tak mau dirinya ingin bertanya apa
Mahiru mungkin tertarik dengan ide pacarnya yang mengenakan kostum Sinterklas sama seperti Ayaka. Tak disangka, reaksi Mahiru lebih
positif dari yang dugaannya. Dia
menatapnya dengan mata berbinar—sesuatu yang biasanya tidak bisa dia bayangkan
dari Mahiru.
Amane
kembali diingatkan, dengan perasaan tercengang, bahwa tidak ada yang tahu apa
yang mungkin menyentuh titik ketertarikan
seseorang.
“Kenapa
kamu terlihat sangat tertarik begitu?”
“Jika
diberi kesempatan, aku ingin sekali melihatnya. Lagipula, aku suka
penampilanmu, apa pun yang kamu kenakan, Amane-kun.”
“Aku
tidak berencana untuk memakainya.”
“Ehh…”
Amane
melihat pundak Mahiru tampak merosot karena
kecewa. Hal ini membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk Mahiru, tetapi karena
dirinya tidak berencana untuk membeli
atau mengenakan kostum apa pun, Amane
ingin meminta Mahiru untuk bersabar kali ini. Akan
tetapi, meskipun ia tidak akan mengenakan kostum
Sinterklas, ia berencana untuk melakukan setidaknya satu hal yang akan
dilakukan Sinterklas.
“Jangan
terlihat kecewa begitu.
Hanya saja, di kantor, staf yang bekerja pada Malam dan Hari Natal harus
mengenakan kostum Sinterklas. Kido berencana untuk pergi hanya untuk melihat
Kayano mengenakannya.”
“…Jadi
Kayano-san bekerja saat Natal?”
“Kido
tidak menceritakan apa pun padamu?”
“Tidak,
tidak ada yang khusus. Dia juga tidak merasa sedih.”
“Asalkan
mereka berdua merasa baik-baik saja, kurasa tidak apa-apa.”
“Sebenarnya,
aku masih ingat dia sering senyam-senyum sendiri…”
“Ah… Dia
pasti ingin sekali melihat Kayano bekerja.”
Souji
tampaknya tidak memiliki masalah dengan berdandan—kalaupun ia punya masalah, ia
mungkin tidak akan memilih untuk bekerja pada hari-hari itu. Jadi, mungkin itu
adalah sesuatu yang mereka berdua sepakati tanpa masalah.
Meskipun
Souji harus bekerja di hari Natal, Ayaka tidak tampak kesal. Sebaliknya, dia
pasti sangat menantikannya. Jelas
bahwa dia menaruh banyak kepercayaan padanya. Ada kemungkinan juga Ayaka
mendengar tentang kostum Santa dari Fumika dan memintanya untuk memakainya,
tetapi kebenarannya tetap menjadi misteri.
Syukurlah
mereka akrab sekali, Amane mengangguk.
Ketika menyadari
reaksi Mahiru yang luar biasa tenang dan mengalihkan fokusnya kepadanya, ia
terlambat menyadari bahwa Mahiru menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Ada
apa?”
“…Aku
hanya berpikir betapa beruntungnya Kido-san.”
“Beruntung?”
“Umm,
aku jadi penasaran kapan aku bisa melihatmu bekerja, Amane-kun.”
“…To-Tolong tunggu sebentar lagi, ya.”
Meskipun
dia tidak marah karena harus menunggu, Mahiru merasa tidak sabar dan frustrasi.
Berbicara tentang Ayaka pasti telah membangkitkan perasaan itu lagi, menyalakan
kembali antisipasi yang telah mengendap dalam dirinya. Amane menahannya untuk
melakukan sesuatu yang seharusnya bisa dia lakukan dengan bebas, dan Amane sangat memahami itu. Ia tidak bisa menyalahkannya
karena merasa kesal.
“Aku bisa
menunggu sampai kamu merasa nyaman, Amane-kun, tapi aku masih merasa sedikit
tidak sabar. Rasanya seperti aku sedang ditunda-tunda
melulu.”
“Kurasa
aku akan terbiasa tahun depan. Aku akan mengundangmu saat tidak terlalu banyak pelanggan yang datang.”
“Jika kamu membuatku menunggu terlalu
lama, aku akan mulai merasa kesepian.”
“Aku
benar-benar minta maaf. Mohon tunggu sampai aku merasa setidaknya setengah
nyaman…kalau tidak sepenuhnya.”
“Aku
pandai menunggu, jadi aku tidak keberatan…tapi bolehkah aku menambahkan satu
syarat?”
“…Syarat?”
“Aku
tidak akan meminta sesuatu yang besar. Umm, aku berharap kamu bisa menunjukkan fotomu saat bekerja. Aku belum pernah melihatmu mengenakan seragam kafe, dan aku
ingin melihat seberapa tampan penampilanmu.”
Walaupun
Mahiru tidak suka dibuat menunggu terlalu lama, tapi
dia tetap mengajukan permintaan sederhana
pada Amane, hanya meminta bantuan kecil.
Alasan
Mahiru dapat dimengerti—jika dia tidak dapat mengunjunginya saat Amane bekerja, foto singkat tentang
dirinya saat beraksi bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diminta. Amane tidak
melihat ada masalah dengan membagikan satu foto yang dipilih dengan saksama
daripada membiarkan Mahiru melihat dirinya yang belum berpengalaman secara
langsung. Mau tak mau Amane merasa penasaran
apa itu sesuatu yang sangat ingin dilihat Mahiru. Namun, jika ia mendengar
bahwa Mahiru mengenakan sesuatu yang lucu dari Chitose, dirinya pasti ingin melihatnya sendiri
juga.
Jadi,
karena itu akan sedikit meredakan keresahannya, Amane segera setuju tanpa ragu.
Ekspresinya yang langsung cerah menunjukkan seberapa
tertariknya dia ingin melihatnya mengenakan seragamnya. Amane
masih merasa itu tidak cocok untuknya. Rasanya lebih seperti sesuatu yang
terpaksa dikenakannya. Namun, jika itu membuat hari Mahiru menyenangkan, semuanya itu sepadan.
Tersenyum
lembut saat membayangkan bahwa suasana hatinya yang
ceria
merupakan sesuatu yang hanya dia tunjukkan
di dekatnya, Amane dengan lembut menggenggam
tangannya saat Mahiru menyandarkan kepalanya di lengan
atasnya, dan meringkuk padanya.
“Aku
berhasil mendapatkan libur di Hari Natal yang mana
itu merupakan berita bagus. Tapi...aku bekerja hingga
sehari sebelumnya. Apa kamu tidak keberatan?”
Amane
merasa tidak enak karena merusak suasana hatinya yang baik, tetapi itu adalah
sesuatu yang harus dikonfirmasi.
Sebagai
imbalan atas liburnya di Hari Natal, Amane harus
bekerja keras menjelang Natal, dan ia juga akan bekerja beberapa hari
berturut-turut setelahnya. Meskipun ia akan pulang pada malam hari setelah
Natal, ia tetap akan meninggalkan Mahiru—pacarnya—sendirian selama sebagian
waktu.
Meski
khawatir, Mahiru, tanpa ragu sedikit pun, hanya menggelengkan kepalanya. “Itulah yang kamu putuskan, jadi aku tidak akan
keberatan.”
“Bukan
begitu maksudku,” Amane mulai menjelaskan. “Aku bertanya apa kamu baik-baik
saja dengan ini. Sebenarnya, aku membuatmu merasa kesepian.”
“Kamu tahu, aku merasa kamu sedikit meremehkanku,
Amane-kun.”
“Meremehkanmu—?”
Amane
terdiam. Ia sama sekali tidak menyangka Mahiru akan berkata seperti itu. Mahiru
menatapnya dengan mata tenang dan senyum lembut.
“Kadang-kadang
aku memang merasa kesepian. Aku selalu
berharap kamu segera pulang. Aku hanya ingin kamu selalu di sampingku untuk menghabiskan
lebih banyak waktu bersama.”
“Mungkin
pekerjaan itu tidak—”
“Meski
begitu, aku merasa tidak tepat bagiku untuk terlalu mengikatmu. Aku mengerti kau
ingin memprioritaskanku. Begitu pula, aku juga ingin mengutamakanmu di atas
segalanya, Amane-kun.”
Jari
Mahiru membelai lembut telapak tangannya.
“Tapi
Amane-kun, hal terakhir yang kuinginkan…adalah menjadi beban bagimu.”
“Beban?
Aku sama sekali tidak menganggapmu seperti itu.”
“Itulah
cara pandangku. Jika aku membuatmu terlalu memprioritaskan keinginanku, aku tidak
akan bisa menerima diriku sendiri.”
“…Bagaimana
jika aku bilang kalau aku tidak keberatan?”
“Itu
berarti kamu akan
mengalah padaku, bukan? Aku tidak ingin kamu
membebani dirimu sendiri demi aku atau
menahan apa yang ingin kamu
lakukan. Aku ingin kita setara—menurutku tidak sehat jika hanya satu dari kita
yang selalu memprioritaskan yang lain.”
Rambut karamelnya beriak seperti sungai yang mengalir
saat dia menggelengkan kepalanya pelan. Untuk sesaat, Amane bisa melihat
sesuatu di mata Mahiru—campuran antara kebaikan dan mungkin sedikit kekecewaan,
tidak ditujukan padanya tetapi pada dirinya sendiri, yang dengan cepat muncul
dan meresap jauh ke dalam.
“Perasaanku
adalah milikku sendiri,” lanjut Mahiru, “begitu pula perasaan kesepian ini. Itu
milikku. Aku tidak akan menyangkal keinginanku untuk tetap berada di sisimu,
tetapi aku tidak mengharapkanmu untuk berkorban demi memenuhinya. Jika aku
memaksamu untuk memprioritaskanku daripada apa yang ingin kamu lakukan, aku hanya akan merasa
kecewa pada diriku sendiri.”
“Mahiru…”
“Kamu memiliki ide yang jelas tentang
sesuatu yang ingin kamu lakukan,
dan itulah alasan kamu mencari
pekerjaan, benar?”
“Ya.”
Amane langsung mengangguk.
Amane
punya janji dan tujuan untuk dirinya sendiri—sesuatu yang ingin ia penuhi.
Itulah sebabnya ia mulai bekerja paruh waktu. Itu bukan untuk Mahiru atau siapa
pun; itu demi dirinya
sendiri. Apa pun yang terjadi, ia tidak bisa menggunakan alasan bahwa ia
melakukannya untuk Mahiru. Ia memilih untuk mengejar ini, dan tidak menyesal
atau malu tentang sumber motivasinya. Mahiru memahami hal itu, dan dia mendukungnya, mengawasinya
sambil menghormati keputusannya.
“Aku
tidak akan pernah membiarkan diriku menjadi alasanmu untuk menyerah dalam mengejar sesuatu yang kamu inginkan,” tegas Mahiru, menghilangkan rasa
bersalah yang dirasakan Amane terhadapnya seperti mentega. Kemudian,
seolah-olah untuk meredakan ketegangan di antara mereka, dia tersenyum lembut.
“Akan
berbeda jika aku diabaikan, tetapi kamu selalu menghormati dan menyayangiku,
menyediakan waktu untukku sambil
juga mendedikasikan sebagian waktumu untuk apa yang perlu kamu lakukan. Aku merasa sangat senang dengan hal itu,
dan aku tidak akan pernah memintamu untuk mendedikasikan seluruh waktumu
untukku. Aku senang ada sesuatu yang sangat kamu sukai,” Mahiru menjelaskan
dengan lembut. Kemudian, senyumnya berubah menjadi sedikit ketidakpercayaan
saat dia berkata, “Kamu cenderung mengabaikan dirimu sendiri karena kamu
terlalu peduli padaku.”
Alisnya
terkulai seolah berkata, “Astaga”
Namun, di balik rasa frustrasinya yang ringan, ada perasaan gembira.
“Meskipun
kupikir aku bisa lebih egois daripada yang kamu
duga, aku tetap tidak berniat mengabaikan perasaanmu. Amane-kun, kita berdua adalah dua
individu yang berbeda. Pikiran kita akan berbeda tidak peduli seberapa besar
kita peduli satu sama lain. Mustahil untuk menyelaraskan tindakan, nilai-nilai,
dan segala hal lainnya dengan sempurna.”
“Sepakat.”
“Dan
itulah tepatnya mengapa kita perlu menyesuaikan diri satu sama lain untuk terus
maju bersama. Aku tidak akan pernah memintamu berkorban untukku, oke? …Aku
ingin hidup bersamamu , Amane-kun. Bersama, dengan kecepatan yang sama.”
Saat
Mahiru selesai berbicara, dia menghela napas
pelan sambil menggerakkan ujung jarinya pelan di telapak tangan Amane,
menggelitiknya pelan.
“Jika aku
pernah memaksamu untuk mengorbankan dirimu demi diriku,
aku akan membenci diriku sendiri. Kurasa aku akan mati karena rasa bersalah di
hari yang sama. Tidak ada salahnya menginginkan
sesuatu, tetapi saat kamu memaksakan
keinginan itu pada orang lain, itu mengubah segalanya. Jika itu aku, aku akan
mulai mempertanyakan diriku sendiri—seperti, 'Sejak kapan aku menjadi orang
yang egois, berpikiran sempit yang mencoba mengendalikan orang lain dan membuat
mereka melakukan apa yang aku inginkan?' Aku tidak akan pernah bisa
memaafkan diriku sendiri karenanya.”
Sementara
Amane merasa senang mengetahui bahwa ia begitu dicintai, bagi Mahiru, itu
adalah sesuatu yang tidak pernah bisa ia bayangkan. Ia bahkan sedikit bergidik
hanya dengan memikirkan hal itu, seolah-olah pikiran itu saja sudah tak
tertahankan.
Memang
benar, mengingat sikap Mahiru yang biasa, perilaku seperti itu tidak
terbayangkan. Namun, jika Mahiru
mencapai titik di mana dia mengungkapkan keinginannya dengan begitu kuat, Amane
tidak berpikir itu sesuatu yang harus diabaikan. Mungkin ia merasa seperti ini
karena setelah melihatnya sampai sekarang, Amane
mengerti bahwa, bagi Mahiru, keberadaan dirinya
merupakan satu-satunya. Dia telah menanggung terlalu banyak
hal. Dia telah menekan perasaannya dalam banyak aspek kehidupannya.
“Jadi,
tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saat aku memikirkan betapa kerasnya kamu
bekerja untuk sesuatu, kamu selalu terlihat keren dan mengagumkan bagiku.”
“…Aku benar-benar menyedihkan, sampai membuatmu mengatakan semua ini.”
“Kenapa
kamu jadi sedih sekarang? Ya ampun…”
Mahiru
mengaku dia pandai menunggu, tetapi lebih dari siapa pun, Amane mengerti
mengapa dia menjadi begitu ahli dalam hal itu—mengapa dia terbiasa dengan hal
itu. Amane menggigit bibirnya; ia tahu bahwa menyangkal pilihan Mahiru untuk
tetap setia pada dirinya sendiri sama saja dengan mengabaikan perasaannya.
Jadi, sebagai gantinya, Amane hanya menerima uluran tangan yang diulurkannya
kepadanya.
Sulit
untuk mengatakan siapa yang mencoba menenangkan siapa. Mungkin mereka berdua
mencoba menghibur satu sama lain. Lengan ramping Mahiru terulur ke arah Amane. Ia menyambutnya dengan tangan
terbuka, dengan lembut memeluk tubuh mungil Mahiru
saat dia meringkuk dengan rela.
“Sebagai
gantinya, saat kita berpelukan seperti ini, aku akan berusaha sebisa mungkin
bersikap egois dan membutuhkan. Apa itu… boleh?”
“Tentu
saja… Kamu seharusnya melakukannya lebih
sering. Kamu
seharusnya meminta apa yang kamu
inginkan. Aku ingin mendengar lebih banyak permintaanmu.”
“Kalau
begitu, mari kita lihat… Bolehkah aku memintamu untuk menghangatkanku…sedikit
lagi?”
Menatap
dari balik pelukannya, Mahiru melemparkan senyum nakal pada Amane.
“Sessuai
keinginanmu.”
Mahiru
mendengkur puas, menempelkan pipinya ke dada Amane, memeluknya lebih erat dan
menikmati kehangatannya. Meskipun sulit untuk tidak memperhatikan kelembutan
tubuhnya yang mudah menyerah padanya, yang lebih memenuhi hati Amane adalah
kasih sayang dan kesukaannya terhadapnya.
Mahiru bersandar padanya, menarik sebanyak mungkin kenyamanan dan energi, dan
itu hanya membuatnya tampak semakin berharga saat ini.
Saat
memeluknya dengan lembut, Amane
bertekad untuk berbagi dan memberikan semua kehangatan yang dicarinya. Mahiru
mengeluarkan suara lembut dan geli, hampir seperti dengkuran lainnya.
“Hehe,
kamu hangat sekali… Aku merasa sangat puas, Amane-kun. Terima kasih padamu.”
“Apa itu
cukup?”
“Sangat cukup… Aku akan mengisi ulang
banyak-banyak selagi aku masih bisa.”
“Jangan
khawatir—aku akan membiarkanmu mengisi ulang bateraimu kapan pun kamu mau.”
“Asalkan
masih dalam batas wajar, oke? …Lagipula, aku yakin kamu juga perlu mengisi
ulang tenaga. Saat kamu lelah, ingatlah untuk bersandar padaku juga.” Mahiru,
yang saat ini menjadi orang yang paling dipuji, menegaskan hal itu dengan tegas.
Ironi itu terlalu berlebihan bagi Amane, dan dirinya
tidak bisa menahan tawa, tawanya membuat punggungnya gemetar. Melihat pacarnya tertawa, Mahiru juga tertawa
pelan dan geli seolah-olah dia tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut
tertawa.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Ah,
Miyamoto-san, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
Saat
giliran tugasnya berikutnya tiba, Amane telah menepati janjinya, mengisi
kekosongan kecil dalam diri Mahiru yang
kesepian.