Chapter 4 — Merayakan Hari Natal Bersama Semuanya
Meskipun sudah banyak yang menduganya, para
siswa masih merasa kecewa karena mereka
tidak diberi istirahat bahkan setelah menyelesaikan ujiannya.
Di
sekolah Amane, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa hingga
tanggal 24, dan kehidupan berjalan seperti biasa. Jadwal yang padat tampak
cocok untuk bulan Desember, karena sekolah sudah mulai mempersiapkan diri untuk
ujian masuk dengan perlahan. Meskipun Amane sudah siap, intensitas kelas yang
semakin meningkat masih menjadi tantangan. Namun, mengetahui bahwa libur
panjang sudah di depan mata membuat segalanya terasa lebih tertahankan.
“Ugh, aku
tidak mengerti. Sekolah sampai Malam Natal benar-benar tidak masuk akal.”
Sekarang sudah tanggal 24 Desember—
Malam Natal.
Kegiatan
belajar mengajar tetap berjalan seperti hari-hari lainnya. Para siswa putus
asa, mengeluh karena harus bersekolah pada Malam Natal, tetapi para guru, yang
terikat dengan kurikulum, tidak menghiraukan gerutuan mereka.
Namun,
mungkin sebagai bentuk kelonggaran kecil dari sekolah, kelas hari ini berakhir
pada tengah hari. Dalam sesi kelas berikutnya, para siswa diberi pengingat
panjang tentang keselamatan liburan dan pola pikir yang harus mereka terapkan
sebagai peserta ujian di masa mendatang. Bagi Chitose, alih-alih merasa lega,
kelelahan tampaknya lebih dulu menyerangnya.
Semua
siswa di sekitar mereka bersemangat menyambut liburan musim dingin, namun
beberapa di antaranya tampak murung karena memikirkan masa depan mereak.
“Yah,
setidaknya kita tidak punya lagi sampai tahun depan. Ya, begitulah adanya,” kata Amane.
“Mereka
seharusnya sudah memulai istirahat hari ini… Aku sangat lelah…”
“Ya,
mereka selalu memasukkan banyak topik ke dalam pelajaran
kita. Suasananya
cukup cepat.”
“Mereka
seharusnya tidak terburu-buru!”
“Kalau itu sih tidak mungkin.”
“Seharusnya
kamu menyerah saat kau mendaftar di
sini. Ngomong-ngomong, jam pelajaran sudah berakhir, jadi kita bisa pulang.
Jangan mengeluh terus.”
Banyak
siswa yang bergegas pulang setelah dibubarkan. Kebetulan, Ayaka dengan
bersemangat bergegas menuju ke ruang
kelas Souji. Sedangkan Amane dan kelompoknya, mereka berencana untuk berkumpul
bersama dan kemudian pergi ke tempat Amane—meskipun baginya, itu hanya masalah
pulang saja. Jadi, mereka berlama-lama di kelas sedikit lebih lama.
“Oh,
liburan musim dinginku yang menyenangkan… akhirnya
datang juga…”
“Maaf
mengecewakan, tapi kita harus berangkat lagi ke sekolah pada tanggal enam.
Itu berarti kami punya waktu dua belas hari.”
“Liburan
musim panas, kembalilah!” Chitose merengek.
Mahiru
terkekeh. “Sepertinya kita semua akan mengikuti kelas tambahan selama liburan
musim panas juga.”
Chitose
mengeluarkan suara setengah gemetar, “Mahirun, aku tidak butuh pemeriksaan
realitas kedua…” saat Mahiru menyampaikan pukulan terakhir sambil tersenyum.
Sebagai tanggapan, Mahiru hanya terus tersenyum manis.
"Maaf.
Tapi itulah sebabnya kita
perlu menikmati momen ini, bukan? Bagaimanapun juga, sekarang sudah Malam Natal.”
Membayangkan
tantangan yang akan dihadapi hanya akan merusak kesenangan, jadi Mahiru tidak
menjelaskannya secara rinci. Sebagai gantinya, dia memegang tangan Chitose yang
tiba-tiba bersemangat dan membantunya berdiri dari kursinya. Chitose yang terkulai lesu beberapa detik sebelumnya, langsung
menyadari bahwa saat itu adalah Malam Natal, dia menjadi lebih bersemangat dari
sebelumnya. Dia bergegas ke loker di belakangnya, mengambil pakaian ganti dan
mantelnya.
Amane
sekilas melihat sesuatu yang tampak seperti tumpukan buku pelajaran yang dijejalkan
di dalamnya, tetapi ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya hanya salah lihat saja.
“Baiklah,
ayo kita ambil ayam yang sudah kita pesan! Hore! Hari ini kita akan makan ayam
goreng!” Chitose bersorak.
“Mungkin tempatnya akan penuh meskipun kami sudah
melakukan reservasi.”
“Ya
ampun, kencan ganda saat Natal, ya?”
Saat
Chitose dengan bersemangat mengenakan mantelnya dan mengangkat tinjunya dengan
penuh semangat, ada suara
memanggil mereka semua. Dua teman sekelas perempuan, yang masih berkeliaran di
dalam kelas, mendekati mereka.
“Ya.
Kita akan menikmati kencan ganda yang menyenangkan dan nyaman di dalam
ruangan."
“Wah,
kalian juga kencan di rumah, Chitose-chan? Kukira kamu akan mampir ke suatu tempat
dalam perjalanan pulang.”
“Apa kami kelihatan seperti itu?” Itsuki menimpali. "Tapi ya,
memang begitu. Kami mungkin akan tersesat di antara kerumunan jika pergi
keluar. Ditambah lagi, aku yakin Amane tidak akan suka terlihat berkencan,
benar kan?”
“Diam.”
“Kalian
semua berteman baik, ya?” Salah satu gadis berkomentar sambil tersenyum.
Dia tidak
mencoba menggoda mereka. Nada bicaranya penuh pengertian, terdengar geli
sekaligus sedikit tercengang. Bagi teman-teman sekelasnya, mereka berempat
praktis sudah dianggap satu tim, jadi
Amane tidak yakin apa harus tertawa atau merasa terganggu. Hal itu tidak
mengganggu Mahiru, jadi tidak ada yang salah dengan hal itu, membuatnya
memiliki perasaan campur aduk.
“Bagaimana
dengan kalian? Kalian
mau pergi ke suatu tempat?” tanya Itsuki.
“Ahh!
Akazawa-kun, kamu kejam sekali
menanyakan itu saat kita bahkan tidak punya pacar!”
“Ups,
maaf!” Itsuki segera meminta maaf.
“Aha ha,
bercanda. Kami akan pergi ke kafe yang sudah kami pesan. Kami ingin mencoba
menu Natal. Jadi ya, kami memang punya rencana!”
“Kalian tidak perlu memarahiku juga kali!”
Itsuki bercanda.
“Hehe,
aku hanya ingin menimpali candaanmu.
Kalau begitu, Risa, gimana kalau kita
berangkat sekarang?”
“Hmm,”
jawab Risa.
Itsuki
dan Chitose adalah pembuat suasana kelas, jadi mereka berhubungan baik dengan
hampir semua teman sekelas mereka. Percakapan santai seperti ini sudah menjadi
sifat alami mereka. Sebaliknya, Amane hanya bisa mengagumi cara mereka
melakukannya. Untungnya, ia juga diterima oleh teman-teman sekelasnya dan bisa
mengobrol dengan cukup baik. Namun, candaan main-main seperti yang baru saja dilihatnya tidak datang begitu saja
padanya. Mungkin tergantung pada orangnya.
Saat
Amane merenungkan sekali lagi tentang keterampilan sosial Itsuki yang
mengagumkan, ia merasa sudah waktunya bagi mereka untuk pergi juga. Ia
mengangguk pelan kepada kedua gadis itu, sambil berkata, “Jaga diri, Konishi,
Hibiya. Sampai jumpa setelah liburan musim dingin.” Namun, entah mengapa,
mereka berdua tertegun di
tempat.
Amane
tidak bisa menahan rasa canggung, bertanya-tanya apakah mereka masih ragu apa
ia mengingat nama mereka. Sambil menghela
pelan, Amane dengan lembut memegang tangan
Mahiru. Mahiru ragu sejenak, dan alisnya turun sebelum dia meremas tangan Amane
kembali.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Wah, sekarang benar-benar terasa Natal banget! Kamu bahkan punya pohon!”
Chitose,
bersemangat seperti biasa, berlari ke ruang tamu dan bersorak sementara Amane
dan Mahiru saling pandang dan tersenyum sebelum mengikutinya beberapa saat
kemudian. Orang yang paling bersemangat untuk mengadakan pesta Natal di rumah
sebenarnya adalah Mahiru.
Mereka
terutama mendekorasi ruang tamu dengan warna merah, hijau, dan emas untuk
menciptakan suasana Natal yang cerah dan meriah. Yang paling menonjol adalah
pohon Mahiru yang lucu dan berukuran sedikit lebih kecil. Ornamen-ornamen
tersebut ditata dengan sempurna, membuat siapa pun yang melihatnya merasakan
semangat Natal.
“Semua
orang berbaik hati membuat dekorasi yang memukau untuk ulang tahunku, jadi kali
ini, giliranku melakukan hal yang sama,” kata Mahiru.
“Ibuku tiba-tiba mengirimkan sesuatu,
tetapi aku tidak menyangka kalau dia justru mengirim pohon,”
imbuh Amane.
Shihoko sudah menghubungi Amane beberapa
hari yang lalu, memerintahkannya untuk bersiap menerima paket yang telah
dikirimnya. Terkejut oleh pemberitahuan yang mendadak tersebut, kiriman itu tiba dalam waktu
singkat, membuatnya bingung.
Dua
barang telah sampai. Salah satunya adalah kotak besar berisi pohon Natal yang
sudah dibongkar dan telah digunakan di rumah orang tuanya selama
bertahun-tahun. Dia masih ingat dengan jelas keceriaan Mahiru saat melihatnya.
Kotak lainnya belum dibuka di hadapan Mahiru, karena Amane berencana untuk
menunjukkan isinya nanti.
“…M-Mungkin
karena aku bilang kalau aku belum pernah menghias pohon di rumah sebelumnya…
Maaf,” kata Mahiru lirih.
“Kenapa
kamu malah meminta maaf? Aku tidak punya
masalah dengan pohon itu sendiri; Ibuku lah yang mengirimkannya
begitu tiba-tiba. Setidaknya dia bisa memberitahuku sedikit lebih awal,” jawab Amane, sedikit jengkel.
Ketika
Amane melihat pohon itu, ia langsung tahu bahwa orang tuanya pasti tahu bahwa
Mahiru belum pernah mencoba menghias pohon dan mengirimkannya sebagai tanda
terima kasih. Ia berterima kasih atas perhatian mereka. Mahiru menghias pohon
dengan antusiasme sekitar 130%. Ia benar-benar menggemaskan. Amane merekam
seluruh adegan itu dalam video dan mengirimkannya kepada Shihoko dan Shuuto
sebagai tanda terima kasihnya.
Bahkan, Mahiru begitu bersemangat sehingga antusiasmenya tercermin dengan sempurna pada pohon itu sendiri. Dekorasi yang ditata dengan indah membuat semua orang di ruangan itu senang.
“Oi, oi—kamu cuma
bersikap manis pada pacarmu ya,
hmm?” canda Itsuki.
“Dan
mengapa aku harus bersikap manis padamu?”
“Setidaknya
kamu bisa sedikit memperbaiki
kata-katamu, bagaimana menurutmu?”
“Tidak, terima kasih.” Amane
menepis gagasan itu.
“Ikkun,
Ikkun. Kalau dipikir-pikir, Amane sebenarnya orang yang sangat manis. Dia
selalu menjaga pembicaraan tetap datar saat berbicara dengan seseorang yang
tidak disukainya. Itu semua karena cinta.”
“Chitose…”
“Mahiruuun,
aku juga akan membantu menyiapkan semuanya! Haruskah aku mengeluarkan semua
cangkir kita?”
Ketika
Amane mengalihkan pandangannya, Chitose sudah bergegas ke dapur untuk
menyiapkan peralatan makan bersama Mahiru. Karena
Chitose kabur melarikan diri, sehingga Amane tidak bisa melampiaskan
kejengkelannnya—yang bisa dilakukannya hanyalah menatapnya
tajam. Tentu saja, Chitose pura-pura tidak memperhatikan sementara Mahiru
dengan riang memberinya instruksi. Alhasil, kekesalan Amane yang ringan segera
mereda. Itsuki tertawa terbahak-bahak
melihat kejadian itu, mengakibatkan
Amane untuk menginjak kakinya dengan sandalnya dengan pelan. Sambil menghela napas pelan, ia mulai merapikan
bahan-bahan belajarnya yang biasa tertinggal di meja rendah.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Dan dengan begitu, Selamat Natal!”
Pesta itu
disiapkan dalam waktu singkat, berkat tangan cekatan Mahiru dan Chitose. Tidak
ada hidangan yang mewah, karena hanya sedikit
yang bisa disiapkan oleh siswa SMA. Meja sudah tertata rapi dengan ayam goreng
dan kentang goreng dari jaringan makanan cepat saji internasional, bersama
salad dan gelas-gelas berisi jus—hanya hal pertama yang terlintas di pikiran
mereka saat memikirkan Natal.
Mereka
sempat mempertimbangkan untuk memesan kalkun panggang sebagai hidangan utama,
namun akhirnya mereka memilih ayam goreng atas permintaan Mahiru karena dia belum pernah mencoba ayam
goreng dari restoran terkenal itu sebelumnya.
Mereka
semua mengangkat gelas berisi minuman pilihan mereka, suara yang jelas bergema
saat mereka saling berdentingan. Biasanya, suara yang rumit dan tajam itu
bukanlah sesuatu yang diperhatikan Amane, tetapi hari ini, suara itu terasa
anehnya menyenangkan dan menenangkan.
“Sejujurnya,
tidak banyak yang bisa dilakukan di hari Natal, bukan?” gumam Chitose santai,
setelah baru saja menelan sepotong kentang gorengnya.
Amane
merasakan hal yang sama. Baginya, hanya karena hari ini Natal bukan berarti ada
sesuatu yang istimewa untuk dilakukan. Saat masih kecil, Natal selalu menjadi
acara yang menyenangkan. Ia selalu menantikan hadiah, dan orang tuanya akan
mengajaknya ke berbagai tempat setiap tahun. Namun, seiring bertambahnya usia,
hari itu hanya menjadi
hari biasa, yang tidak jauh berbeda dari keseharian
lainnya. Tentu saja, hari itu tetap merupakan hari istimewa yang dipenuhi
dengan banyak kenangan indah, tetapi perasaan harus melakukan sesuatu hanya
karena hari ini Natal telah berangsur-angsur memudar seiring bertambahnya
usianya.
“Jika
kita sudah dewasa, kita bisa pergi ke restoran yang
bagus dan menikmati iluminasi,
dan kami masih punya waktu untuk hal-hal lain. Namun, jika kita keluar sampai larut malam, kita akan ditangkap polisi,” keluh Chitose.
“Bukannya orang tuamu akan mulai menangis
tersedu-sedu jauh sebelum itu?”
“Bagaimanapun
juga, kamu adalah putri mereka yang manis
dan terkasih,” renung Mahiru.
“Benar,
jadi jika anak SMA ingin melakukan sesuatu untuk Natal, mereka biasanya pergi
ke bioskop atau karaoke, tetapi tempat itu selalu penuh sesak, jadi aku lebih
suka tidak melakukannya. Kami selalu berakhir bersantai di tempatmu, Amane,
jadi itu terasa tepat, kau tahu?”
Chitose menjelaskan.
“Ya, kamu
harus sadar betapa anehnya itu,” canda Amane.
Hal itu
sudah menjadi rutinitas sehingga Amane hampir lupa seberapa sering hal itu
terjadi. Namun, bukan berarti ia keberatan—mereka selalu diterima. Ia hanya berharap teman-temannya
setidaknya menyadari kalau tempatnya sudah
berubah menjadi tempat nongkrong favorit mereka. Amane
tahu rumahnya merupakan tempat
yang nyaman bagi semua orang untuk berkumpul, jadi ia tidak akan
mempermasalahkannya. Namun, ada kalanya mereka datang tanpa pemberitahuan, dan
ia berharap mereka akan merenungkannya sebentar.
“Maksudku,
kalau kita ke tempatmu, Mahirun juga akan ada di sana. Ini kemenangan ganda.”
“Kamu hanya mengincar Mahiru, bukan?”
“Oh,
ketahuan?” Chitose mengaku sambil menyeringai nakal.
“Hehe,
aku senang bersamamu, Chitose-san.”
“Mahirun…!”
Chitose berseri-seri, matanya berbinar.
“Hei,
jangan menatapku seolah-olag kamu
sudah menang,”
gerutu Amane sambil mengernyit sedikit. Ia tidak begitu tidak percaya diri
hingga merasa cemburu pada gadis lain, tetapi melihat Chitose memamerkan wajah
sombongnya dengan begitu terang-terangan mulai membuatnya kesal. Ekspresi
kemenangannya semakin terlihat saat menanggapi kekasarannya, membuat Amane
serius mempertimbangkan untuk menjauhkan Mahiru darinya.
“Jangan
khawatir, Amane-kun, kamu ada di kategori yang berbeda, oke?”
“Aku tahu
itu,” jawab Amane.
“Lihat siapa yang cemburuan~!”
“Mana mungkin aku merasa cemburu.”
“Oh-ho,
jadi kamu merasa iri ya!”
“Mahiru, lakukan.”
“Hiiyaa!”
Mahiru
benar-benar memahami maksud Amane. Dia dengan lembut melemparkan beberapa
kentang goreng sisa ke dalam
mulut Chitose, yang secara efektif membungkamnya sebelum dia bisa mengatakan
hal lain yang tidak perlu. Meskipun pendekatan Mahiru jauh lebih sopan daripada
ketika Itsuki biasanya membungkam Chitose, tampaknya Chitose lebih fokus pada
kenyataan bahwa Mahiru telah menyuapinya, karena dia dengan senang hati
menerima isyarat itu dan terdiam.
Saat Chitose
mengunyah kentang goreng dengan ekspresi puas, Itsuki terkekeh. “Shiina-san benar-benar terpengaruh oleh Amane,
ya?” Meskipun ia menunjukkan ekspresi canggung, Itsuki tidak mencoba menghentikan
mereka, jelas-jelas hanya menikmati pemandangan yang terbentang di hadapannya.
“Aku masih tidak menyangka kalau kita
semua bisa menjadi lebih dekat sejak tahun
lalu. Rasanya sulit dipercaya.”
“Ya. Saat
itu, Mahiru dan Chitose bahkan belum bertemu,” jawab Amane.
Pada
masa-masa kelas satu mereka, Mahiru masih mempertahankan persona ‘Bidadari’-nya dan tidak pernah
berbicara dengan Chitose atau Itsuki. Mereka hanya mengenal wajahnya, tanpa pernah berinteraksi sama sekali. Sekarang,
setahun kemudian, segalanya telah berubah total. Itu menunjukkan ada banyak kejutan dalam kehidupan.
“Sekitar
waktu ini tahun lalu kami mengetahui tentangmu dan Shiina-san,” kata Itsuki
mengenang.
“Kupikir
jantungku akan berhenti berdetak saat itu,” Amane mengakui sambil menghela napas.
Amane
merahasiakan hubungannya dengan Mahiru, karena tahu bahwa kehidupan sekolahnya
yang damai akan hancur jika orang lain mengetahuinya. Bahkan dengan teman
dekat, sangat penting untuk merahasiakannya. Namun, secara tidak sengaja,
Itsuki memergoki Mahiru berdiri di balkon hari itu. Saat itu, Amane merasa
telah melakukan kesalahan besar. Perutnya terasa melilit.
Namun, berkat sifat baik Itsuki dan Chitose, rahasia mereka tidak pernah
terbongkar, dan pada akhirnya, kejadian itu membuat mereka semakin dekat.
“Maksudku,
dari semua orang, siapa
yang mengira kalau Si Tenshi-sama
dan Amane akan berakhir seperti ini? Mahirun juga selalu menjaga jarak dengan
laki-laki,” tambah
Chitose.
“…T-Tolong
lupakan itu!”
“Lihatlah
dirimu sekarang. Kamu
benar-benar penggemar berat Amane.”
“Chitose-san!”
“Mwahahaha…!”
Chitose terkekeh jahil,
jelas-jelas menikmatinya.
Wajahnya
sedikit memerah karena malu, Mahiru melotot ke arah Chitose. Sayangnya, Chitose
sama sekali tidak terganggu—seolah-olah dia tidak menyadarinya. Mahiru tidak
benar-benar kesal dengan apa yang dikatakan Chitose; dia hanya sedikit kesal
karena diejek. Lagipula, dia tidak menyangkal apa yang dikatakan Chitose.
Sebagai
objek kasih sayang Mahiru, Amane merasa senang dan malu di saat yang bersamaan.
Sensasi geli yang aneh menarik otot
sudut mulutnya. Namun, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengencangkan
ekspresinya dan menahan senyum agar tidak terlihat. Jika ia menunjukkannya,
bukan hanya Chitose, tetapi bahkan Itsuki pun akan ikut menggodanya.
“Kalian berdua benar-benar berubah,
tapi kami belum berubah, kan?” komentar Itsuki.
“Tidak.
Kami hanya orang-orang yang biasa saja,” Chitose setuju.
“Benarkah?
Menurutku kalian lebih santai dan kalem dari sebelumnya,” ujar Amane.
“Apa, kamu mau
coba bilang kita tidak melakukan apa pun di sana!?”
"Kenapa
kamu selalu bersikap negatif? Aku cuma bilang kamu terlihat lebih nyaman dari
sebelumnya," Amane kemudian menjelaskan.
“…Memangnya kami terlihat menyebalkan
bagimu?” tanya Itsuki, terdengar sangat terkejut.
“Tidak,
tidak sensitif. Terkadang, aku merasa kamu
setengah sengaja dan setengah tidak sengaja menggoda. Seperti kamu menggunakannya sebagai alat
untuk menjauhkan orang lain... tidak, agar mereka tidak curiga ada yang salah?”
Meskipun
mereka sering disebut sebagai ‘pasangan
bucin’, Amane merasa bahwa tidak semua
rayuan mereka muncul secara alami. Kebanyakan rasanya
mereka sedikit merekayasanya, seolah-olah mereka sengaja menampilkan diri
mereka sebagai pasangan yang bahagia dan riang tanpa hambatan. Meskipun benar
bahwa mereka bahagia dan harmonis, hal yang sama tidak bisa dikatakan sebagai pasangan
yang riang.
Karena
Amane tahu tentang perjuangan mereka, ia menyadari bahwa mereka tidak hanya
saling menyayangi tanpa berpikir. Meski begitu, bagaimana mereka selalu
bersikap akrab tetap membuat mereka menjadi ‘pasangan
bucin’.
Dibandingkan tahun lalu, mereka sekarang lebih santai dan tidak lagi bersikap
hati-hati. Baik atau buruknya itu tergantung bagaimana orang lain yang melihatnya.
“Ugehh, orang ini…”
“Mengapa
kamu menghinaku sekarang!?”
“Tidak,
tidak! Itu sebenarnya pujian!”
“Ya,
benar…”
“Percaya
atau tidak, itu pujian yang datang dari Ikkun.”
“Kamu
harus belajar bagaimana memberikan pujian yang pantas…” kata Amane sambil menghela napas.
“Aku bisa
mengatakan hal yang sama kepadamu,” balas Itsuki.
“Apanya?”
Selama
mereka tidak menggodanya, Amane selalu berusaha jujur dengan pikirannya.
Bahkan, dia yakin dia mengekspresikan dirinya secara langsung. Bagaimana mereka
bisa menafsirkannya dengan cara lain berada di luar pemahamannya.
“Amane-kun,
kamu selalu bersikap dingin pada Akazawa-san saat kamu menyadari ia memujimu.
Aku jadi sedikit iri.”
“Kenapa!?”
seru Amane dengan bingung.
“Kamu hanya bersikap seperti itu
padanya. Jadi artinya
Akazawa-san itu istimewa," Mahiru menjelaskan dengan lembut.
“Amane,
aku tidak percaya padamu…”
“Mahiru,
ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh kamu katakan.”
“Oh,
aku seharusnya tidak mengatakan itu?” Dengan senyum menawan yang tak
terbantahkan, Mahiru memiringkan kepalanya sedikit. Melihat pemandangan itu,
Amane tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya mengatupkan bibirnya menjadi
garis tipis.
“Jadi bahkan Amane si paling tsundere tidak sebanding dengan
Mahirun yang perkasa, ya?” goda Chitose.
"Siapa
yang kamu panggilsi paling tsundere?” balas
Amane
“Baiklah,
kalau begitu katakan saja kamu
deredere.”
“Seperti
yang kukatakan, siapa!?”
“Ya kamu lah.”
“Kamu,
Amane.”
“Tentu
saja kamu, Amane-kun.”
Dengan
ketiganya yang saling bersuara, Amane segera menyadari bahwa ia tidak memiliki
satu pun sekutu di pihaknya.
Karena kalah jumlah, ia terdiam, menerima kekalahannya.
“Jangan
merajuk, ya?” bisik Mahiru dengan suara lembut dan menenangkan, mencoba
menghibur Amane yang menyadari ekspresi murungnya sebagai bentuk merajuk.
Meskipun
dia berbicara dengan manis, Amane tidak berniat terbuai oleh pesonanya. Dirinya sudah kehilangan keinginan
untuk berdebat, atau lebih tepatnya, menyadari bahwa berdebat sekarang tidak
ada gunanya.
“…Kalian akan merasakan balasannya nanti.”
“Kepada kami? Atau maksudmu Shiina-san?”
“Kalian
semua!”
“Ya
ampun.”
“Sudah, sudah…”
Mereka
berdua tahu bahwa sikap dingin Amane adalah akibat langsung dari ejekan mereka
yang terus-menerus, tetapi tak satu pun dari mereka berusaha mengubah sikap
mereka. Amane berharap mereka menyadari sekarang bahwa inilah tepatnya alasan
mengapa ia menanggapi dengan sikap ketus seperti itu.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“…Liburan
musim dingin dimulai besok, tetapi apa kalian berdua tetap menjalani kehidupan
seperti biasa?”
Setelah
selesai makan, mereka tidak punya rencana khusus. Mereka memutuskan untuk
menghabiskan waktu dengan menonton film Natal klasik. Namun, karena mereka
semua sudah pernah menontonnya, jadi tidak
ada yang memperhatikan, dan obrolan ringan pun muncul.
“Tidak
ada hal besar yang terjadi, jadi semuanya akan berjalan seperti biasa—belajar
di rumah, lalu pergi bekerja.”
Di TV,
film klasik tentang seorang anak yang sendirian di rumah pada hari Natal sedang
diputar. Di film itu, anak itu menggunakan perangkap pintar untuk mengelak kejaran pencuri
dengan cara yang lucu, disertai dengan jeritan dramatis seorang pria yang
terperangkap di salah satu perangkap. Sambil menonton adegan itu, Amane tanpa
sadar merenungkan pertanyaan Itsuki.
Banyak
siswa yang sangat menantikan liburan musim dingin, tetapi sejujurnya, liburan
musim dingin tidak terasa berbeda hanya karena saat itu sedang musim liburan.
Tentu, tidak harus berangkat
ke sekolah merupakan perubahan yang signifikan, tetapi ia tetap belajar
sebanyak sebelumnya. Bagi Amane, satu-satunya perbedaannya ialah ia akan memiliki lebih banyak
jam kerja daripada biasanya.
“Aku
bernasib sama dengan Amane-kun,” kata Mahiru, “Meski aku tidak punya pekerjaan,
aku akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar.”
“Argh,
kalian berdua terlalu rajin banget.
Kalau aku harus belajar sebanyak itu, mungkin aku akan hancur.”
“Aku memang mengambil waktu istirahat
secara berkala. Aku pun akan
merasa lelah jika belajar setengah hari penuh, dan aku mulai merasa kewalahan. Untuk
mengatasinya, aku
mencampurnya dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan belajar, seperti
pekerjaan rumah, olahraga, atau hobi. Itu membantu menyegarkan pikiranku.”
“Mahirun,
kamu pekerja keras sekali sampai-sampai perbedaan di antara kita membuatku
ingin menangis.”
“Aku suka
belajar. Karena itu salah
satu hobiku.”
“Aku bahkan tidak bisa mulai memahami
hal itu!”
Mahiru
gemar mempelajari hal-hal baru dan memperoleh keterampilan baru. Dia terus berupaya untuk memperluas
pengetahuan dan kemampuannya, dan belajar adalah contoh utama dari hasratnya
ini. Itu adalah sesuatu yang benar-benar dia
nikmati.
Di masa
lalu, Mahiru didorong oleh kebutuhan konstan dan hampir mirip seperti obsesi untuk menjadi ‘orang ideal’. Namun sekarang, dia murni belajar untuk masa depannya dan untuk
memuaskan rasa penasarannya,
itulah sebabnya Mahiru
tidak merasa kewalahan. Sementara Amane juga
senang mempelajari hal-hal baru, ia tidak begitu rajin
seperti Mahiru, dan mau tak mau merasa
terkesan dengan dorongannya yang tak kenal lelah untuk berkembang. Namun, bagi
Chitose, hal itu mungkin tampak sedikit ekstrem.
“Ngomong-ngomong,
Amane, kamu tidak pulang untuk liburan musim dingin tahun ini?”
“Yah, karena ada lebih banyak ujian yang akan
datang dan fakta bahwa aku sudah bertemu ibuku ketika dia datang untuk rapat,
kami memutuskan untuk tidak melakukannya kali ini, mengingat betapa singkatnya
waktu istirahat. Bukannya aku tidak ingin pulang,
tetapi memaksa pulang dengan jadwal yang padat bukanlah ide yang bagus. Ditambah
lagi, alasan terbesarku sebenarnya adalah…”
“Apa
itu?”
“…Jika
aku kembali bersama Mahiru sekarang, aku harus memperkenalkannya kepada semua
kerabatku.”
Shihoko
punya kebiasaan tidak membiarkan satu hal pun terlewat saat mengamankan
keberhasilan rencananya. Amane dapat dengan mudah membayangkan Shihoko
memamerkan Mahiru, memamerkan calon menantunya kepada semua orang. Tidak sulit
membayangkan Shihoko dengan bersemangat memamerkan Mahiru kepada semua
kerabatnya.
Keluarga
mereka jarang berkumpul untuk setiap acara. Mereka cenderung menghabiskan
liburan sesuka hati dan hanya berkumpul saat situasi mengharuskannya. Jadi,
meskipun saat itu akhir tahun, belum tentu semua kerabatnya akan bertemu.
Namun, jika Amane membawa Mahiru pulang, hampir dapat dipastikan semua orang
akan berkumpul, dengan Shihoko yang bersemangat memperkenalkannya kepada semua
orang seolah-olah itu adalah semacam acara besar.
Amane
tahu bahwa hal itu bisa membuat Mahiru kewalahan saat ini, jadi ia memutuskan
untuk tidak pulang ke rumah. Perkenalan seperti itu selalu bisa terjadi lain
kali.
“Ahh…”
Itsuki memberinya senyum penuh pengertian, jelas memahami situasi yang ingin dihindari Amane.
Amane
hanya mengangkat bahu. “Bagaimana denganmu, Itsuki?”
“Oh, aku?
Seperti biasa, aku berencana untuk diseret ke sana kemari untuk menyapa semua
saudaraku dan dihujani pertanyaan.”
“Kamu menyebut dibombardir sebagai
bagian dari rencanamu?”
“Ya,
saudara laki-lakiku yang mewarisi keluarga, bukan aku. Jadi, aku tidak mengerti
mengapa mereka merasa perlu menekanku juga. Kami punya banyak saudara yang suka
mengomel di keluargaku, percayalah. Itu sangat menyebalkan,"
kata Itsuki terus terang, mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
Kekhawatiran
sempat terpancar di mata Chitose, tetapi senyumnya yang cerah segera kembali.
“Keluargaku akan tetap sama seperti biasanya,” katanya. “Setiap tahun, kami
hanya bermalas-malasan menonton acara musik saat Tahun Baru.”
“…Jangan
lupa tugasmu. Masih banyak yang harus dikerjakan.”
“Jangan
ingatkan aku! Aku berusaha keras untuk melupakannya!”
Karena
tidak ingin menggali terlalu dalam, Amane memilih untuk mengatakan sesuatu yang tidak berbahaya.
Chitose mengeluarkan ratapan jenaka sebagai protes, yang membuat Amane
tersenyum lega. Ia senang
melihat Chitose kembali seperti biasanya, dengan cepat mengatasi rasa cemas
yang muncul sebelumnya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya