Gimai Seikatsu Volume 14 Chapter 13 Bahasa Indonesia

Chapter 13 — 25 April (Senin) Asamura Yuuta

 

Cuaca hari ini cukup  cerah dan suhu mulai meningkat sejak pagi. Sinar matahari yang menyinari ruang makan sangat menyilaukan, dan aku berpikir hari ini akan menjadi panas lagi. Cahaya yang menembus vas kaca di atas meja terurai menjadi warna-warni pelangi karena perbedaan indeks bias setiap panjang gelombang. Menurut prakiraan cuaca, ada beberapa daerah di Kanto yang suhunya akan melebihi 30°C hari ini. 

“Sepertinya akan panas,” kataku, dan Ayase-san yang duduk di seberang meja mengangguk setuju. 

Sekarang sudah hampir pukul 8 pagi. Dengan waktu yang tersisa, Ayase-san yang memiliki waktu tempuh perjalanan yang singkat pun takkan sampai tepat waktu untuk jam perkuliahan pertama. Namun, kali ini tidak masalah. Sepertinya Ayase-san tidak memiliki jadwal kuliah yang ingin diambil pada pagi hari Senin, sehingga dia punya waktu luang, dan aku sendiri tidak memiliki jam kedua, meskipun ada jam perkuliahan pertama, tapi hari ini dosennya tidak hadir karena menghadiri konferensi. 

Dengan alasan itu, kami berdua bisa bersantai di bawah cahaya mentari pagi setelah sekian lama. 

“Mau segelas kopi lagi?”

Ketika Ayase-san bertanya demikian, aku menjawab, “Mungkin aku akan memintanya.” 

“Baiklah. Sini pinjam dulu cangkirnya, aku mau mencucinya.”

“Langsung begini juga tidak apa-apa, ‘kan?”

“Karena kita membuka biji kopi baru, kamu pasti ingin menikmatinya dengan enak, ‘kan?”

Jadi begitu ya. Sepertinya setelah secangkir di pagi hari, biji kopinya habis, jadi dia memutuskan untuk membuka yang baru. 

“Kalau begitu, biar aku saja yang mencucinya. Bisakah kamu membuatkan kopinya, Saki?”

“Baik.” 

Saat kami sedang berbincang, kami mendengar suara pintu depan terbuka dibarengi suara, “Aku pulang”.

Itu suara Ibu tiriku. Ayase-san berkata, “Eh?” sambil secara refleks melihat jam dinding. Aku pun mengikuti arah pandangnya. Waktunya masih sekitar pukul 8:05, sedikit lebih awal untuk waktu pulang. 

Tak lama kemudian, Ibu tiri Akiko-san muncul di ruang makan, dan kami berdua mengucapkan “Selamat datang kembali”. 

“Ya. Aku pulang. Kalian berdua masih belum berangkat kuliah hari ini, ya?”

“Aku baru mulai siang. Yuuta-niisan bilang kuliah pagi ini dibatalkan. Jadi, Bu, ibu sudah makan?”

“Belum.”

“Kalau begitu, aku akan menyiapkannya. Silakan duduk.” 

“Aku akan memanaskan air mandi.”

Sepertinya tergantung harinya apakah dia akan makan sebelum pulang, tetapi Ayase-san memberitahuku bahwa Ibu tiri selalu mandi sebelum tidur. Aku pergi ke kamar mandi untuk memeriksa apa masih ada air tersisa di bak mandi, lalu menyalakan pemanas air. 

Urutan mandi di kediaman keluarga Asamura saat ini adalah: Ayah aku Ayase-san Ibu tiri Akiko-san (pagi). Jika keempat orang mandi, tentunya air bak mandi harus diganti. Namun, tergantung seberapa kotor, kamu mungkin harus membuangnya tanpa ditampung dan perlu diganti, jadi penting untuk memeriksanya. 

Ngomong-ngomong, rupanya Ibu tiri Akiko-san juga mandi sebelum berangkat kerja untuk menghilangkan keringat, tapi dia tidak sampai berendam dalam bak mandi. 

Mengesampingkan hal sepele semacam itu, ketika aku kembali ke ruang makan, ibu tiri Akiko-san duduk di meja makan tanpa berganti pakaian, dan Ayase-san sedang menyodorkan teh barley yang diambil dari kulkas. Dia memiringkan gelas dan meneguknya dengan nikmat, lalu menghela napas panjang. 

“Sepertinya di luar memang panas banget, ya?” 

“Iya, rasanya seperti sudah musim panas saja. Oh, terima kasih Yuuta-kun, sudah menyiapkan mandi. Kamu memang anak yang perhatian.”

“Ah, tidak....”

Aku berusaha merendah dan mengatakan bahwa itu bukan hal yang besar, tetapi ibu tiri Akiko-san setelah melirik wajahku dan Ayase-san secara bergantian sambil berkata dengan senang, “Rasanya benar-benar membantu, terima kasih”. Jadi, aku merasa kehilangan momen untuk merendah dan hanya merasa malu. 

Ayase-san mengatakannya seolah-olah itu merupakan hal yang wajar, 

“Memangnya apa yang Ibu pikirkan selama ini? Kita sudah 18 tahun.” 

Aku setuju, jadi aku balas mengangguk mendengar kata-kata Ayase-san. 

“Masa sih? Hei, Saki.”

“Apa?”

Tatapan Akiko-san mendesak Ayase-san untuk duduk di seberang meja makan. Kemudian tatapan Ibu tiri Akiko-san yang menatapku membuatku merasa bahwa aku juga pasti disuruh duduk di hadapannya juga. Jadi aku duduk di sebelah Ayase-san. 

Ibu tiri Akiko-san kemudian membuka mulutnya, 

“Bisa membantu orang tua bukan satu-satunya tanda bahwa seseorang sudah dewasa.” 

Dia berkata demikian dengan tenang, tetapi apa maksudnya? 

“Ini hanyalah pemikiran pribadiku—” 

Setelah memberi pengantar seperti itu, dia menjelaskan pemikirannya. 

“Menurutku, orang dewasa adalah seseorang yang bisa bertanggung jawab atas ketidakbertanggungjawaban.”

Apa maksudnya dengan ketidakbertanggungjawaban yang bertanggung jawab? 

“Jika kamu memang benar-benar dewasa, apapun yang dikatakan orang tua atau apapun yang mereka coba lakukan, kamu takkan mundur dan tetap teguh menjalankan apa yang ingin kamu lakukan. Sebab, jika kamu membelokkan keinginanmu hanya karena orang tuamu berkata demikian, maka baik saat berhasil atau gagal, bayang-bayang orang tua akan selalu mengikutimu.” 

Aku mulai berpikir setelah mendengar itu. Aku merenungkan kata-kata yang diucapkannya di dalam pikiranku. 

“Jadi, umm...apa maksudnya begini? Jika kita menyerah terhadap apa yang ingin kita lakukan karena tidak ingin merepotkan orang tua, hal itu sama saja dengan mengabaikan tekad kita yang ingin bertanggung jawab dan hanya membebankan tanggung jawab itu kepada orang tua?” 

Ibu tiri mengangguk usai mendengar kata-kataku. Namun, Ayase-san tampaknya masih belum begitu mengerti apa yang aku katakan maupun apa yang dikatakan ibunya. 

“Tapi, baik ibu maupun Ayah tiri Taichi-san tidak pernah memaksakan sesuatu kepada kita, ‘kan?”

“Ya, aku tidak ingin melakukan hal seperti itu.”

“Jadi, kita tidak bertentangan dengan Ibu dan Ayah tiri, ‘kan?” 

Oh iya, kurasa itu ada benarnya juga. 

“Aku juga tidak ingin melakukan hal yang tidak disukai ibu dan ayah tiri Taichi-san.” 

Aku mengerti logikanya. Namun, Ayase-san sepertinya masih tidak mengerti mengapa Ibu tiri Akiko-san sampai harus mengatakan hal seperti itu, dan mengapa dia harus menyuruh kami untuk duduk di depannya. 

Sepertinya Ayase-san sudah berpikir lebih jauh daripada aku yang hanya memikirkan logika sederhana. 

“Begini, Saki dan Yuuta-kun, apa kalian berdua bisa menentukan masa depan kalian sendiri tanpa merasa khawatir denganku maupun Taichi-san?”

Aku merasa terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, ekspresi Ibu tiri Akiko-san saat itu lebih serius daripada yang pernah kulihat sebelumnya, dan aku merasakan bahwa dia ingin mengatakan sesuatu yang penting. 

“Eh, umm...”

Tanganku mulai sedikit berkeringat. Aku mulai merasa tegang. Melihat gelas berisi teh barley yang berkeringat di depanku, aku tiba-tiba merasakan haus juga. 

Apa aku bisa menentukan masa depan tanpa merasa sungkan dengan Ibu tiri Akiko-san atau ayah? 

Itulah yang dia tanyakan kepada kami, tapi aku mulai berpikir apa ini cuma cara halus untuk menunjukkan bahwa dia menyadari hubungan antara aku dan Ayase-san. Aku mencuri pandang ke arah Ayase-san yang duduk di sampingku. Dia juga tampak kebingungan dan tegang. 

Bagaimana misalnya jika Ayah atau Ibu tiri Akiko-san, atau mungkin bahkan keduanya, menentang hubungan pacaran kami? Bagaimana jika mereka mulai meminta kami untuk berhenti? 

“Aku tidak sampai berpikir ‘karena aku tidak ingin membuat orang tuaku sedih...jadi aku akan menuruti semua yang mereka katakan’. Menyerahkan keputusan yang seharusnya kita buat sendiri kepada orang tua itu seperti melimpahkan tanggung jawab yang seharusnya kita pikul kepada mereka." 

“Ya, aku juga sependapat,” Ayase-san menimpali. 

Ibu tiri Akiko-san menghela napas seolah-olah mengeluarkan segala beban di pundaknya. 

“Aku ingin kalian berdua menghargai kehidupan kalian sendiri di atas segalanya. Tidak ada jaminan bahwa keputusan kami selalu benar...” 

Itu merupakan hal yang logis, tapi apa orang tua bisa mengatakannya kepada anak-anak mereka? Para orang tua biasanya ingin anak-anak mereka percaya bahwa mereka tidak pernah salah. 

“Begini—”

Ibu tiri Akiko-san mulai berbicara dengan cara yang menunjukkan bahwa ia sedang mengganti topik. Ayase-san tampak tersentak di sebelahku. Apa yang membuat Ayase-san sampai begitu terkejut? 

“Entah itu adik laki-laki atau adik perempuan... Keluarga kita mungkin akan bertambah.”

Eh? Adik laki-laki atau perempuan? Jadi, maksudnya berarti... Apa bakalan ada anak antara ayahku dan Ibu tiri Akiko-san? 

Ketika dia tiba-tiba mengatakan itu, pikiranku menjadi kosong sejenak. 

Tapi kemudian aku menyadarinya saat itu. Dia memang mengatakan mungkin akan bertambah, tetapi dia tidak meminta izin untuk melakukannya. 

Dia tidak sedang meminta izin dari kami. 

Itu benar. Jika kami menentangnya sekarang dan ayahku serta Ibu tiri Akiko-san harus menyerah, atau jika yang terjadi sebaliknya, yaitu, jika Ibu tiri Akiko-san dan ayahku memohon, maka kami tidak punya pilihan selain menyerahkan sesuatu juga..

Pada kenyataannya, ada banyak orang tua yang menyerah demi kehidupan anak-anak mereka. Namun, kami tidak bisa melakukan itu. Jika kami mengetahuinya, itu akan mengarah pada pengabaian kehendak kami sendiri. 

—Aku ingin kalian berdua menghargai kehidupan kalian sendiri. 

Demi meyakinkan itu kepada kami, dia tidak bisa meminta izin dari kami di sini. 

Meskipun kenyataannya posisi orang tua dan anak tidak simetris.

Aku kembali melihat Ibu tiri Akiko-san. Kedua tangannya terkepal erat di atas meja. Seolah-olah dia berusaha menekan kecemasannya tentang apakah ucapannya akan dipahami oleh kami berdua. 

Ketika aku masih kecil, aku menganggap bahwa Ibu tiri Akiko-san—orang tua—sebagai sosok yang tidak mungkin salah, tapi seiring aku mendekati kedewasaan, aku mulai menyadari bahwa orang tua juga manusia biasa yang mengalami kebingungan, kesulitan, dan menderita sama seperti kami, dan hanya berusaha membuat keputusan terbaik yang mereka bisa pada saat itu. 

Itulah sebabnya aku membuang semua jawaban yang sudah kupikirkan berkali-kali dan hanya berkata, 

“Aku senang anggota keluarga kita bertambah. Mungkin, Saki juga merasakan hal yang sama.” 

Entah siapa yang terkejut dan menghela napas kecil, apa itu Ibu tiri Akiko-san atau Ayase-san yang berada di sampingku. 

Ibu tiri Akiko-san melepaskan genggaman erat kedua tangannya dan berkata, 

“Bisakah kalian berdua berjanji takkan menggunakan itu sebagai alasan untuk menahan diri dari melakukan apa yang kalian inginkan?” 

Dengan kata lain, meskipun kehadiran bayi baru akan membuat kehidupan menjadi lebih sulit, tapi itu adalah beban yang akan ditanggung oleh Ibu tiri Akiko-san dan ayah, jadi kami tidak perlu menyesuaikan hidup terlalu banyak.

Ini sama saja dengan mengatakan bahwa jika itu membebani kami atau Ayase-san, mereka tidak ingin memaksakan untuk memiliki anak baru. 

Dalam kenyataannya, posisi orang tua dan posisi anak tidaklah simetris. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa tidak bisa merasa demikian. Walaupun mereka menyuruh anak-anak mereka untuk hidup sesuka mereka, tapi mereka tidak ingin memaksa anak-anak mereka melakukan sesuatu jika mereka tidak mau, dan sekarang aku menyadari bahwa memang begitulah yang namanya orang tua.

“Semuanya akan baik-baik saja. Aku berjanji."

“Ya. Aku juga berjanji. Tapi, jika ada masalah, aku harap Ibu bisa bilang kapan saja. Lagipula kita adalah keluarga.”

Ayase-san berkata demikian, dan aku mengangguk di sampingnya.

“Oh,” Ibu tiri Akiko-san menghela napas lega. “Terima kasih ya”. Kemudian dia berbicara dengan sedikit malu-malu.

“Sebenarnya, aku berpikir untuk membuatnya dengan tenang ketika kalian berdua lulus dari universitas dan mulai hidup mandiri,” dia menambahkan sambil tersenyum kecil, “Aku berpikir bahwa mungkin tahun ini atau tahun depan sudah menjadi batasanku mengingat usia dan kondisi fisikku.”

Aku hanya bisa mendengarkan dan tidak bisa berkomentar apa-apa karena aku benar-benar tidak mengetahui tentang risiko dan kesulitan kehamilan atau persalinan.

Ibu tiri Akiko-san berkata bahwa dirinya menyayangiku dan Ayase-san sebagai orang tua serta senang melihat kami tumbuh dengan baik. Namun, di balik perasaan itu sebagai seorang ibu, dia juga memiliki keinginan yang tulus untuk melahirkan dan membesarkan anak dengan Ayahku.

Setelah selesai bercerita, Ibu tiri Akiko-san berkata, “Yah, ini bukan sesuatu yang bisa dijanjikan hanya karena kami menginginkannya...” Dia mengungkapkan itu dengan nada pelan.

Usai mendengar kata-katanya, akhirnya aku menyadari apa yang dia bicarkan.

Ayanase-san pernah berkata sebelumnya.

—Mungkin mereka sedang mencoba sesuatu yang bergantung pada keberuntungan, yang bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui hasilnya, dan hampir setahun untuk mendapatkan hasil akhir.

Setelah tahu jawabannya, aku jadi bertanya-tanya kenapa aku tidak bisa langsung memahaminya pada waktu itu.

“Apa itu adik laki-laki atau perempuan? Aku sangat menantikannya.”

Aku mengatakannya dengan suara secerah mungkin. Terlebih lagi jika Ibu tiri Akiko-san merasa cemas. Cuma itu yang bisa kulakukan sebagai putranya. Tentu saja, aku akan memberikan dukungan. Menyatakan bahwa aku menantikannya adalah perasaanku yang tulus.

Setelah kami selesai mengobrol, aku dan Ayase-san kembali ke kamar dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah, ibu tiri Akiko-san memanggil, “Oh iya, Saki. Ke sini sebentar”. Dia hanya memanggilnya. Aku sedikit penasaran tentang apa yang akan mereka bicarakan.

Namun, aku berpikir mungkin ada hal-hal yang hanya bisa dibicarakan antara wanita, jadi aku kembali ke dalam kamarku. Sambil memasukkan buku pelajaran ke dalam tas, aku membayangkan perubahan yang mungkin datang sekitar setahun ke depan. Keluarga kami akan bertambah.

Aku melihat sekeliling ruangan. Hanya dua tahun yang lalu, rumah ini terasa terlalu luas untukku dan ayah. Namun— 

──Alangkah baiknya jika ada kamar anak-anak. 

Begitulah pemikiran yang terlintas di benakku.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama