Chapter 3 — Suka Berbagi Hal-Hal Yang Disukai
Bukannya
berarti Amane tidak mempunyai hobi, tapi dirinya tidak pernah terlalu condong
pada satu hal secara ekstrem. Ia sangat menyukai Mahiru, sampai-sampai bisa
dibilang ia mencintainya dengan sepenuh hati, tetapi jika dirinya mengklaim itu
sebagai hobi, orang lain pasti akan terkejut, dan AAmane juga akan merasa malu
dan ingin menghindar. Jadi, ada banyak hal yang membuatnya merasa hobi itu
memiliki semangat yang berbeda.
Oleh karena
itu, meskipun Amane tidak mempunyai hobi yang, tapi baru-baru ini ada satu hal
yang menjadi tren baginya. Yaitu membuat telur bumbu. Jangan anggap itu hanya
sekadar merendam telur rebus dalam bumbu. Waktu merebus telur tentu saja
berpengaruh, dan juga tergantung pada jenis bumbu yang digunakan. Meskipun
menggunakan dasar rasa yang sama, konsentrasi bumbu, jumlah garam, ada atau
tidaknya kaldu, dan waktu merendam semuanya mempengaruhi hasilnya, sehingga
sangat mendalam.
Itulah
sebabnya, Amane yang sebelumnya tidak suka berlebihan dalam hal yang disukainya,
dan kecintaannya yang tak terbantahkan pada telur telah mendorongnya untuk
mendedikasikan dirinya dalam membuat telur berbumbu. Tentu saja, jika Amane
membuatnya dalam jumlah besar setiap hari, ia bisa menghabiskan semuanya,
tetapi dirinya bisa melihat masa depan di mana Mahiru hari akan mengatakan, “Nutrisimu
tidak seimbang, jadi makanlah dengan secukupnya.” Oleh karena itu, Amane terus
membuatnya sedikit demi sedikit untuk konsumsi pribadi.
Akhir-akhir
ini, Amane sedang mencoba tantangan untuk melihat seberapa jauh dirinya bisa
merendam dengan bumbu yang disukainya, dan merasa senang menemukan campuran
favoritnya. Tampaknya kebahagiaan itu terlihat di wajahnya karena ketika
kembali ke sofa setelah mencuci piring, Amane disambut oleh Mahiru yang tampak
sedikit keheranan, meskipun tidak sampai curiga.
“…Amane-kun,
kamu terlihat sedikit terlalu senang, ya?”
“Eh. …Tidak,
aku tidak merasa begitu kok?”
Sebenarnya,
itu bukan sesuatu yang perlu disembunyikan, tetapi juga bukan sesuatu yang
perlu ia katakan, dan Amane merasa bahwa bersemangat tentang telur bumbu terasa
kekanak-kanakan dan memalukan. Namun, tampaknya ini justru menimbulkan
kecurigaan dalam diri Mahiru.
Meskipun
tidak terlihat seperti sedang menuduh, Mahiru menatapnya dengan serius dan bertanya lagi
dengan lembut, “Apa beneran begitu?”
“Tidak,
seriusan. Kurasa
tidak seperti itu.”
“…Begitu
ya?”
“…Bukan
begitu, sebenarnya aku tidak menyembunyikan apa pun darimu, Mahiru.”
Amane
merasa bahwa terus berusaha mengelak hanya akan membuat keadaan semakin buruk,
jadi dirinya memutuskan untuk menyerah.
“Jadi,
sebenarnya apa?”
“Eh,
yah, tidak, sebenarnya ini hanya perkara sepele.”
“Ya.”
“Belakangan
ini, aku sangat tertarik membuat telur bumbu.”
“Ya,
aku tahu. Ada wadah di kulkas yang tampaknya berisi itu.”
“Jadi,
aku menemukan rasio bumbu favorit untuk telur bumbu. Saat ini aku sedang
merendamnya. Aku membayangkan menikmati telur bumbu yang penuh rasa dan lembut
dengan nasi yang baru dimasak, dan aku sangat menantikan itu untuk besok pagi.”
Saat Amane mengatakan itu, dirinya merasa malu karena perkara sepele itu, tapi dirinya pikir lebih baik jujur daripada
mengelak. Telur bumbu yang dinantikannya sudah direndam sebelum Mahiru
datang, jadi waktu terbaik untuk memakannya adalah setelah pagi hari
berikutnya.
Telur
bumbu yang dibuat
sebelumnya sudah siap dimakan setelah sehari dimarinasi,
jadi Amane berencana untuk menikmati
campuran yang dicobanya kali ini pada waktu yang sama.
Semakin lama direndam, semakin meresap rasa bumbunya, dan kuning telurnya juga
akan menjadi lebih padat dan kenyal, yang juga enak, tetapi Amane lebih suka kuning telur yang
lembut dan menikmati rasanya, jadi dirinya
ingin menikmati kuning telur yang lembut terlebih dahulu.
“Kalau
bicara tentang telur bumbu, ramen juga enak, tapi tetap saja nasi putih yang
utama, ‘kan? Boleh aku menggunakan nasi bagus yang kita simpan?”
Nasi yang
biasanya mereka gunakan
sebagai makanan pokok bukanlah nasi dari beras
berkualitas jelek, malahan
cukup mahal dan lezat, tetapi itu bukanlah yang super mahal. Mahiru memilih
dengan cermat nasi yang seimbang antara rasa dan harga.
Meskipun rasanya enak, tapi Amane merasa sungkan jika menyajikan
telur bumbu terbaik dengan nasi yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, dirinya berpikir untuk menggunakan nasi
mahal yang disimpan
dalam jumlah kiloan dan harganya ribuan yen.
“Boleh
enggak?”
“Tidak,
itu tidak masalah.”
“Horee!
Oh, aku mungkin akan bangun pagi dan memasaknya dalam panci tanah liat. Memasak
dengan rice cooker juga enak, tetapi panci tanah liat memberikan rasa
yang berbeda.”
Dengan
panci tanah liat, cara nasi berdiri dan rasa manisnya berbeda. Memang, memasak
dengan api langsung memberikan hasil yang berbeda dibandingkan rice cooker,
di mana setiap butir nasi terjaga kelembapannya dan menghasilkan penampilan
yang mengembang dan berkilau.
Amane tidak bermaksud merendahkan rice
cooker, tetapi dalam hal mengeluarkan aroma, rasa manis, dan umami, panci
tanah liat memang sedikit lebih unggul. Di sisi lain, ia tidak bisa membiarkannya
sepenuhnya tanpa pengawasan, dan harus mengatur suhu dan jumlah air dengan
tepat agar nasi tidak menjadi gagal, jadi ada kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Karena Amane belajar cara memasak nasi dengan
panci tanah liat dari Mahiru dan ia
sudah bisa memasak dengan cukup baik, meskipun biasanya dirinya sangat bergantung pada rice
cooker. Setelah mendapatkan izin dari Mahiru, Amane
memutuskan untuk memasak nasi sendiri besok. Ketika ia menatap Mahiru, dia tampak
membuka dan menutup matanya beberapa kali, lalu perlahan menghela napas.
“…Sekarang
aku merasa sangat lega.”
“Eh,
kenapa? Apa aku dicurigai dengan hal-hal
aneh?”
“Tidak,
bukan kecurigaan seperti itu, tetapi, ya, aku merasa ini sangat khas darimu, Amane-kun,
dengan senyuman yang menghangatkan hati dan rasa lega.”
“Bukannya
kamu sedang meledekku?”
“Tidak,
sama sekali tidak.”
“Hmm.”
Mahiru mungkin tidak sedang meledeknya, tapi sepertinya dia berpikir bahwa hal itu menggemaskan dan lucu (dari sudut pandang Mahiru),
jadi Amane tidak mengambilnya terlalu
serius dan hanya menerima apa yang dia katakan. Namun, kali ini Mahiru tampak
sedikit gelisah.
“Kenapa
malah aku yang dicurigai di sini?”
“Karena
kamu selalu melihatku dengan senyuman.”
“Itu
karena aku selalu merasa kamu sangat menggemaskan,
Amane-kun.”
“Hmm.
…Kalau begitu, mau bagaimana lagi.
Aku juga melihatmu dengan cara yang sama.”
Setelah Mahiru mengatakan bahwa dirinya menggemaskan, mana mungkin Amane
membantahnya. Dirinya juga selalu merasa Mahiru sangat
menggemaskan dan memperhatikannya dengan penuh kasih, jadi mereka berdua saling berbagi perasaan
itu. Selain itu, hanya dengan mengetahui bahwa Mahiru merasa seperti itu kepadanya sudah cukup membuatnya bahagia, jadi Amane memilih mundur dengan tenang.
Melihat Amane mengangguk sebagai jawaban,
pipi Mahiru sedikit memerah dan
menundukkan pandangannya. Ketika Mahiru merasa malu, dia biasanya melakukan sesuatu menyundul Amane dengan
lembut atau mengguncang-guncang tubuhnya karena malu, tetapi kali ini tampaknya
dia lebih memilih yang terakhir.
“Jadi
kamu malah merasa malu.”
“Habisnya…”
“Aku
selalu melihatmu dan berpikir bahwa aku menyukaimu, Mahiru.”
“Ak-Aku… tahu itu.”
“Benarkah?
Apa kamu benar-benar merasakannya?”
Kata-kata
dan tindakan sama-sama penting, sesuatu yang diajarkan dan ditanamkan oleh
orang tua Amane di dalam
hatinya. Karena itulah, ia berusaha sebisa mungkin
berkomunikasi melalui kata-kata dan tindakannya agar tidak membuat Mahiru
cemas. Namun, Amane penasaran, apa
perasaannya tersampaikan kepadanya?
Meskipun begitu, Amane
bisa tahu dari sikapnya bahwa Mahiru
memahami dan menerimanya, jadi ia
tidak terlalu meragukannya.
“Aku
benar-benar merasakannya, terlalu banyak malah.”
“Baguslah
kalau begitu.”
Ketika Mahiru
mengangguk dengan semangat, Amane
menganggap dia sangat menggemaskan, jadi dirinya dengan lembut mengelus kepala Mahiru.
Meskipun dia menerimanya, tapi sepertinya Mahiru
ingin mengatakan sesuatu dan menggerakkan bibirnya.
“…Uhm.”
“Ada
apa?”
“…Aku hanya merasakan bahwa aku sangat dicintai.”
“Begitu,
senang kamu merasakannya.”
Mendengar
kata-kata itu dari mulut Mahiru saja sudah memuaskan Amane, tetapi
entah karena merasa tidak suka dengan anggukan yang terlalu cepat atau karena
malu, Mahiru mulai menggerakkan tangannya kecil-kecil dan menepuk-nepuk paha Amane.
Seandainya
saja Amane mengatakan kalau Mahiru sudah mahir menyembunyikan rasa malunya,
ia sudah bisa membayangkan wajah Mahiru yang
memerah seperti balon merah muda. Amane
kemudian mengambil tangan yang menyentuh pahanya
dan membungkusnya dengan lembut.
“Ayo,
jangan cemberut begitu. Besok
pagi kita makan telur bumbu bersama.”
“…Kamu yakin?”
“Apa
maksudmu?”
“Yah,
kupikir itu adalah makanan favorit Amane-kun yang sangat berhasil, bukan?”
“Ya.
Itulah sebabnya aku mengajakmu untuk memakannya, oke?
Makanan enak sebaiknya dibagikan, kan?”
Amane bukan tipe orang yang ingin
menguasai apa yang disukainya. Tentu saja, Amane ingin memiliki Mahiru untuk dirinya sendiri dan tidak ingin ada
orang lain yang mendekatinya, tetapi untuk hal-hal yang disukai lainnya, Amane lebih suka membagikannya dengan
orang-orang terdekat.
Apalagi
kalau itu dengan orang yang dicintainya. Amane ingin orang yang dicintainya
mengetahui hal-hal yang disukainya
dan bisa menikmatinya bersama merupakan
hal yang sangat membahagiakan.
Selain
itu, mempertimbangkan keterampilan memasak, kepekaan rasa, dan pengetahuan Mahiru,
kritiknya pasti akan membantu Amane
berkembang ke depannya. Tidak ada alasan untuk tidak makan bersama.
“Jangan
khawatir, aku sudah mencatat resepnya, jadi aku bisa membuatnya lagi nanti.”
“…Aku
juga menyukai bagian itu darimu.”
“Benarkah?
Terima kasih.”
“Aku
sangat menyukaimu, Amane-kun.”
“…Apa ada yang salah hari ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Pernyataan
cinta dan curahan kasih sayang dari Mahiru
mulai membuat Amane khawatir apakah dirinya membuatnya merasa tidak nyaman,
tetapi Mahiru hanya menggerakkan rambut pirangnya yang berwarna coklat keemasan
dengan santai.
“Aku
hanya berpikir betapa beruntungnya diriku
memiliki orang yang aku suka seperti Amane-kun."
“Aku
senang mendengarnya. Aku juga merasa beruntung bisa disukai oleh Mahiru.”
Amane
sendiri sedikit meragukan apa dirinya
memiliki elemen yang cukup untuk disukai Mahiru, tetapi jika ia mengatakannya secara lantang, Mahiru pasti akan memelototinya dan memberikan ceramah panjang
yang penuh pujian, jadi Amane memilih
untuk menahan diri.
Memang
benar bahwa Mahiru menyukainya,
dan Amane ingin bersikap jujur tidak hanya
kepada Mahiru tetapi juga kepada orang lain, yang mungkin menjadi salah satu
alasan mengapa Mahiru menyukainya.
“…Amane-kun tuh kadang-kadang tidak menyadariinya, ya? Tidak, bukan kadang-kadang,
tetapi cukup sering.”
“Apa
maksudmu?”
“Segala
macam hal.”
Saat Mahiru
berpaling dengan cemberut, Amane
tahu jika dirinya terlalu
memaksakan untuk menggali informasi, dia akan merasa malu dan menghindar, jadi Amane membiarkannya sambil mengelus
lembut tangan kecilnya untuk merasakan kehangatannya.
